Kamis, 11 Agustus 2011

Medical Biotech - Terapi Gen

Terapi gen merupakan salah satu aplikasi bioteknologi modern yang berperan sebagai metode pencegahan, penyembuhan, atau penanggulangan suatu penyakit yang berbasis pada gen. Metode terapi gen berbeda dengan terapi konvensional. Pada terapi konvensional, yang menjadi fokus pengobatan adalah protein. Sedangkan pada terapi gen, fokusnya bukan lagi pada protein, tetapi menarget kepada gen nya. Dalam terapi gen diusahakan gen yang menyebabkan penyakit direkayasa agar kembali normal dengan cara memodifikasi, menambahkan, atau melengkapi gen tersebut sesuai dengan kebutuhan. Pada pasien yang memiliki kelainan berupa mutasi pada gennya, maka diperlukan modifikiasi gen. Jika pasien tidak memiliki bagian gen tertentu, maka dilakukan pelengkapan gen. Sedangkan penambahan gen terkadang dilakukan agar menimbulkan efek tertentu. Metode penambahan, modifikasi, peyisipan, maupun pengurangan gen disebut metode gen transfer. Metode gen transfer ini sangat berguna dalam aplikasi terapi gen, karena dapat mentreatment atau menyembuhkan penyakit dengan memasukkan materi genetik tertentu.

Ada dua jenis cara dalam praktek terapi gen. Terapi gen dapat dilakukan secara ex-vivo (luar tubuh) maupun in-vivo(dalam tubuh).

  •  Ex-vivo. Pada terapi gen ex-vivo, rekayasa/transfeksi genetika dilakukan di luar tubuh. Mula-mula sel didalam tubuh manusia (yang bermasalah) di ekstrak dulu keluar, setelah itu diinjeksikan kembali ke dalam tubuh. Metode ini merupakan metode tak langsung, karena prosesnya dilakukan di luar tubuh (ex-vivo).
  • In-vivo. Pada terapi gen in-vivo, rekayasa/transfeksi genetika dilakukan di dalam tubuh. Terapi gen in-vivo biasanya dilakukan dengan memasukkan gen tertentu yang melibatkan virus sebagai media transfer ke dalam tubuh pasien. Metode ini merupakan metode langsung, karena prosesnya dilakukan di dalam tubuh (in-vivo).
Kemungkinan keberhasilan metode terapi gen in-vivo lebih kecil, karena gen yang kembali dimasukkan dapat dianggap sebagai benda asing oleh tubuh.

Percobaan terapi gen yang pertama kali dilakukan pada pasien balita penderita SCID (Severe Combined Immnue Defficiency). Penyakit ini disebabkan karena sel darah putih tidak dapat menghasilkan ADA (Adenosine Deaminase). 
Metode penyembuhan penyakit SCID dilakukan dengan terapi gen ex-vivo atau diluar tubuh. Mula-mula, bagian T-cell dari sel darah putih pasien diekstrak keluar tubuh, kemudian diisolasi. Sementara itu disiapkan gen ADA normal yang disisipkan pada plasmid bakteri. Selain itu juga diperlukan media transfer berupa retrovirus yang telah dilemahkan sehingga tidak berbahaya. Virus tersebut berfungsi sebagai media transfer gen ADA agar dapat dimasukkan kedalam tubuh. Setelah tiga komponen tersebut lengkap (T-cell pasien, retrovirus, dan gen ADA dalam plasmid bakteri), ketiganya digabungkan sehingga terbentuklah sel darah putih yang menghasilkan gen pengkode ADA. Sel tersebut kemudian dikultur dalam laboratorium, setelah itu diinjeksikan kembali ke tubuh pasien.

Suksesnya penemuan metode terapi gen adalah berkat dari adanya central dogma dalam biologi molekuler. Dulu orang menganggap protein sebagai molekul pembawa sifat, kemudian pada tahun 1940 baru orang menganggap bahwa DNA adalah pembawa sifat. Central dogma dalam biologi molekuler menjelaskan bahwa DNA double helix yang awalnya ditranskripsi menjadi mRNA (untai tunggal) kemudian baru membuat protein. Protein tertentu dapat menimbulkan suatu penyakit. Pada metode konvensional, diusahakan supaya protein tidak menjadi penyakit. Namun setelah adanya pemahaman central dogma, timbul gagasan terapi gen dengan mem-blok proses transkripsi dari DNA ke mRNA maupun translasi dari RNA ke protein. Metode terapi gen tentu saja jauh lebih efektif daripada metode konvensional.

Terapi gen telah banyak berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan ini menghasilkan banyak metode dan variasi terapi gen. Beberapa variasi dari terapi gen adalah strategi antisense dan strategi antigene. Kedua variasi tersebut lebih berfokus pada ekspresi gen.
Antisense Strategy
  1. Strategi antisense. Disebut  juga anti RNA karena bertujuan menghambat mRNA untuk membetuk protein. Untuk dapat membentuk protein, single strain mRNA harus melalui proses translasi. Strategi antisense ditujukan untuk menghambat proses translasi mRNA sehingga tidak dapat menghasilkan protein penyebab penyakit. Proses penghambatan atau inhibisi mRNA menggunakan strain oligonucleotide pendek. Jadi, mRNA yang mula-mula single strain berubah menjadi double strain karena diblok oleh single strain nucleotide. Proses ini dilakukan dengan dua kali injeksi (multiple injection) pada masing-masing mRNA yang awalnya terbentuk dari satu molekul DNA.
  2. Strategi antigene. Pada strategi antigene, penghambatan ekspresi gen dilakukan pada tahapan yang lebih dini, yaitu transkripsi DNA. Seperti strategi antisense, strategi antigene juga menggunakan single strain oligonucleotide pendek sebagai penghambat. Bedanya, pada strategi antigene yang diblok/dihambat adalah DNA sehingga tidak dapat ditranskripsikan menjadi mRNA. DNA yang mulanya double strain berubah menjadi triple strain setelah dihambat oleh single strain oligonucleotide. Strategi antigene hanya memerlukan sekali injeksi pada DNA yang bermasalah.
Strategi antigene sebenarnya lebih efisien karena langsung mentarget akar permasalahan yaitu DNA dan pengobatannya hanya perlu dilakukan sekali seumur hidup, tetapi banyak terdapat kesulitan dalam perkembangan strategi ini, antara lain dalam hal memasukkan obat untuk menembus inti sel dimana DNA berada, masalah lain terdapat pada triple helix yang tidak cukup stabil seperti double helix dan juga triple helix kurang poten. Disamping itu, belum lama ini antisense lebih dikembangkan. Perkembangan antisense yang pesat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena sifat double helix yang mudah terbentuk dan lebih stabil, juga karena mRNA lebih mudah dijadikan target karena berada di luar inti sel.

DNA molecule: "I hate being a DNA molecule. There is so much to remember!" 

Tidak ada komentar: